Gubernur DKI
Sutiyoso menyatakan akan menggunakan sistem polder untuk menanggulangi banjir
di Jakarta, khususnya untuk 40% wilayah Jakarta yang katanya berada di bawah
permukaan laut. Sistem polder ini telah direncanakan oleh Herman van Breen dan
tim (dengan banjir kanal barat dan timur) ketika merancang kota sebagai respon
terhadap banjir besar yang melanda Batavia tahun 1918. Namun sayangnya rencana
yang bagus ini belum bisa terealisasi sepenuhnya hingga saat ini. Di Jakarta
sendiri sistem polder ini sebenarnya sudah diterapkan di kawasan perumahan elit
di tepi laut Jakarta Utara.
Polder adalah sekumpulan dataran rendah yang
membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul (dijk/dike).
Pada daerah polder, air buangan (air kotor dan air hujan) dikumpulkan di suatu
badan air (sungai, situ) lalu dipompakan ke badan air lain pada polder yang
lebih tinggi posisinya, hingga pada akhirnya air dipompakan ke sungai atau
kanal yang langsung bermuara ke laut. Tanggul yang mengelilingi polder bisa
berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air, dinding batu, bisa juga berupa
konstruksi beton dan perkerasan yang canggih. Polder juga bisa diartikan
sebagai tanah yang direkalamasi. Sistem polder banyak diterapkan pada reklamasi
laut atau muara sungai, dan juga pada manajemen air buangan (air kotor dan
drainase hujan) di daerah yang lebih rendah dari muka air laut dan sungai.
Polder identik
dengan negeri kincir angin Belanda yang seperempat wilayahnya berada di bawah
muka laut dan memiliki lebih dari 3000 polder. Sebelum ditemukannya mesin
pompa, kincir angin digunakan untuk menaikkan air dari suatu polder ke polder
lain yang lebih tinggi. Bicara tentang banjir kita perlu banyak belajar dari
negara ini yang sudah kenyang bergulat memerangi banjir sejak abad ke-17 karena
morfologi alamnya sebagian besar yang berupa rawa dan dataran rendah. Di negara
ini, ancaman banjir datang secara rutin dari laut melalui gelombang pasang dan
ganasnya badai Laut Utara, ataupun dari luapan sungai Ijssel, Maar, dan Rijn akibat
mencairnya es di hilir sungai pada akhir musim dingin. Sistem polder dipakai
untuk mengeluarkan air dari dataran rendah dan juga menangkal banjir di wilayah
delta dan daerah aliran sungai. Di negara ini, rencana penanganan banjir
ditetapkan pada level nasional, provinsi, dan kotapraja. Terdapat Badan
Manajemen Air yang sejajar dengan pemerintahan lokal dan berperan khusus dalam
perencanaan, manajemen aktivitas yang berkait dengan air, juga upaya mitigasi
bencana banjir. Upaya penanganan banjir juga melibatkan masalah penyediaan
perumahan, tempat kerja, suplai air minum, pertanian, lingkungan ekologis,
galian mineral, bahkan pariwisata dan rekreasi. Sungai Rijn (Rheine) yang
menyebabkan banjir adalah lintasan jalur wisata perahu pesiar yang bermula di Swis,
melewati Jerman, dan berakhir di Belanda.
Berkaitan
dengan aspek ruang, bermacam kemungkinan terjadinya banjir (ketinggian, daerah
tergenang) dari beragam periode ulang (return period) dikaji untuk
menentukan sistem pengaliran air dan batas polder. Ada beberapa daerah di
sekitar badan sungai yang memang disiapkan untuk digenangi ketika banjir besar
(periode yang lebih lama) melanda.
Daerah ini biasanya dimanfaatkan untuk
fungsi pertanian atau daerah hijau. Ketentuan sempadan sungai dan tanggul juga diterapkan
untuk menjamin tidak ada bangunan pada daerah tersebut. Kontrol pada
pemanfaatan lahan agar sesuai dengan peruntukannya amatlah ketat, dimulai dari
kelayakan pada saat perijinan, pengawasan rutin, hingga penggunaan foto udara
kawasan. Selain ditunjang sumberdaya manusia, teknologi, dan finansial, upaya
penegakan hukum dan peraturan merupakan salah satu kunci keberhasilan
penanggulangan banjir di negara ini. Untuk menerapkan sistem polder di Jakarta,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pemanfaatan lahan di sekitar tanggul
harus dikontrol seketat mungkin, paling tidak sepanjang bantaran sungai dan
tanggul kanal harus bebas dari bangunan dan permukiman liar. Daerah ini
memiliki resiko tertinggi bila terjadi banjir. Alternatif pemanfaatannya bisa
berupa taman ataupun jalan. Berkait dengan tata ruang secara umum, penegakan
ketentuan tata ruang seperti guna lahan (land use) dan koefisien dasar bangunan
(KDB) juga harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekadar menjadi proyek untuk
menghabiskan anggaran pemerintah.
Kedua, ketika semua air buangan dialirkan ke
laut, ancaman banjir dari laut juga perlu diperhatikan. Bukan tidak mungkin
gelombang pasang akan membanjiri kota melalui kanal banjir yang ada. Mungkin
saja diperlukan pintu atau gerbang kanal yang bisa dibuka-tutup sewaktu-waktu.
Ketiga,
sistem polder amatlah bergantung pada lancarnya saluran air, kanal, sungai,
serta kinerja mesin-mesin yang memompa air keluar dari daerah polder. Aspek
perawatan (sumber daya manusia dan peralatan) perlu mendapat perhatian dalam
bentuk program kerja dan anggaran. Yang terjadi selama ini kita lebih pandai
mengadakan sarana dan prasarana publik ketimbang merawatnya.
Keempat, resapan air hujan perlu lebih
dimaksimalkan melalui daerah resapan mikro seperti taman, kolam, perkerasan
yang permeabel, dan sumur resapan. Prinsipnya adalah mengurangi buangan air
hujan ke sungai dan memperbanyak resapannya ke dalam tanah.
Disini, peran
arsitek, kontraktor, dan pemilik properti amatlah penting untuk mengalokasikan
sebagian lahannya untuk fungsi resapan seperti taman rumput (bertanah) dan
sumur resapan. Daerah resapan yang tidak terlalu luas namun jika banyak
jumlahnya dan tersebar di seluruh penjuru kota tentu akan memberikan kontribusi
yang signifikan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah. Sistem polder
merupakan upaya struktural penanggulangan banjir yang konsekuensinya jelas
adalah biaya yang amatlah besar dan waktu yang lama, baik untuk pembebasan
tanah, pembangunan fisik, maupun untuk pengadaan dan perawatan mesin-mesin dan
peralatan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah upaya non-struktural
yang berkaitan dengan pendidikan publik. Upaya membangun kesadaran seperti
tidak membuang sampah di saluran air, memperbanyak penanaman pohon, menggunakan
perkerasan grass-block dan paving-block yang permeabel, atau
bahkan bagaimana bersikap ketika banjir datang akan jauh lebih berguna untuk
mencegah banjir dan meminimalisir kerugian akibat banjir yang bisa datang
setiap tahun.
Amin Budiarjo
Praktisi
Perencanaan dan Pembangunan Perkotaan
Penulis adalah
pekerja lepas di bidang arsitektur dan perencanaan kota, lulus Sarjana
Arsitektur dari ITB Bandung dan juga Master of Science in Urban Planning and
Management di ITC-UPLA Enschede, Belanda. Sebelumnya bekerja sebagai staf
peneliti lepas di LPPM-ITB dan pada proyek Strengthening Local Authority in
Risk Management (SLARIM) ITC Enschede, Belanda. Saat ini penulis bekerja
sebagai Urban-Geographic Information System Specialist pada proyek San Diego Hills
Memorial Park – PT. Lippo Karawaci Tbk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar