Setiap tahun, Kota
Jakarta mendapat jatah banjir baik karena curah hujan yang tinggi atau kiriman
dari daerah penyangga seperti Depok dan Bogor. Sebagai daerah hilir, semestinya
menyiapkan dan menata Ibukota harus dipenuhi dengan daerah resapan air,
sehingga dalam kondisi debit air meningkat bisa terserap.
Kenyataannya, persoalan
yang multikompleks akibat urbanisasi menyebabkan lahan di Jakarta hampir
ditutupi oleh bangunan dan daerah kedap air, karena tertutup semen. Lahan-lahan
yang semula menjadi penampungan air, kini diuruk menjadi perumahan elite.
Alhasil, air tidak terserap, tetapi meluber dan menggenangi permukiman
penduduk.
Di tengah ketidakpastian
menangani solusi karena belum kelarnya pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT),
sedangkan ancaman banjir kian sulit diprediksi, seorang ilmuwan dari Institut
Pertanian Bogor, Jawa Barat, Kamir R Brata menawarkan solusi alternatif
meminimalkan dampak banjir dengan teknologi lubang serapan Biopori atau mulsa
vertikal.
Berbeda dengan penemuan
padi Super toy dan Blue Energy yang sempat mencoreng citra Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono akibat tidak diuji kebenarannya secara ilmiah, penemuan Kamir
sudah melalui tahapan tersebut, sehingga sangat layak ditawarkan ke publik
untuk diterapkan mulai dari ruang lingkup yang paling kecil dalam skala rumah
tangga.
Apalagi, teknologi yang
ditawarkan sangat sederhana, tepat guna, mudah diterapkan, dan harganya sangat
terjangkau, tetapi dampaknya luar biasa untuk menyelamatkan lingkungan
khususnya menjaga ketersediaan air tanah dan meminimalkan dampak banjir.
Teknologi ini pada
prinsipnya menahan air hujan tidak langsung mengalir ke daerah yang lebih
rendah, tetapi membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan
tersebut. Dinamakan teknologi biopori, karena mengandalkan jasa hewan-hewan
tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah,
dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap, sehingga memperbaiki
struktur tanah.
“Cara ini di samping
membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi
mengatasi banjir yang selalu melanda Jakarta,” kata Kamir saat menyampaikan
penemuannya itu beberapa waktu lalu.
Di kawasan perumahan yang
hampir semua lahannya kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini
diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah
telanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Selanjutnya, sampah organik
berupa daun atau ranting kering serta sampah tumah tangga dimasukkan ke dalam
lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm hingga maksimal satu meter.
Sampah organik, berfungsi membantu kehidupan cacing tanah dan rayap yang
nantinya akan membuat biopori.
Di saluran air, lubang
serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan di ujung saluran dibuat bendungan
sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir, namun diserap sebanyak-banyaknya ke
dalam lubang. “Jangan khawatir sampah organik akan meluap, karena air akan
begitu cepat terserap ke dalam lubang. Lubang yang diisi sampah juga tidak akan
menimbulkan bau busuk, karena terjadi proses pembusukan secara organik,”
katanya.
Selain di lahan perumahan
kedap air, teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki
lahan terbuka seperti di dekat pohon. Demikian juga di persawahan lahan miring,
sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air.
Selain menjaga
ketersediaan air tanah, biopori juga menyelamatkan lingkungan dari kepungan
sampah. Sampah-sampah rumah tangga yang selam ini langsung dibuang ke tempat
pembuangan sampah (TPS), dengan teknologi ini memaksa masyarakat mengurai dan
memasukkan sampah organik ke lubang tersebut.
Peralatan
Peralatan yang digunakan
dalam menerapkan teknologi ini sangat sederhana seperti bor tanah, cangkul,
golok, palu, pahat, ember, gayung, bambu, pipa, dan sendok semen. Bor berfungsi
untuk melubangi bidang tanah sekaligus mengangkat tanah hasil galian. Bor juga
bisa digunakan untuk memasukkan kompos dalam lubang. Bor tanah terbuat dari
besi yang didesain khusus. Di sepanjang bor ada alat ukur angka satuan
sentimeter untuk mengetahui kedalaman lubang.
Mata bor dibuat dari
lempengan besi tipis yang dibuat oval meruncing pada bagian ujungnya. Dengan
desain seperti ini, bor bisa menembus tanah yang keras sekalipun. Panjang bor
sekitar 120 sentimeter. Sementara di bagian pangkal dibuat pegangan, sehingga
memudahkan dalam penggunaan. Bor tanah bisa dibeli di toko dengan kisaran harga
Rp 175.000-Rp 250.000.
Cangkul digunakan untuk
membersihkan permukaan tanah. Pahat dan palu digunakan untuk membongkar lapisan
semen pada permukaan tanah yang disemen. Bahan yang digunakan untuk membuat
lubang berupa semen, pasir, batu hias, air, dan sampah organik. Semen dan pasir
digunakan untuk memperhalus permukaan lubang. Batu hias atau pecahan keramik
berfungsi sebagai pemanis. Air untuk melunakkan tanah dan sampah organik
digunakan untuk pengisinya.
Lubang resapan biopori
(LRB) yang telah dibor selanjutnya pada sekeliling permukaan mulut lubangnya
diberi semen agar kuat, lalu dimasukan potongan pipa PVC yang telah dibungkus
koran pada lubang LRB sedalam 2 sentimeter. Lalu, sisipkan adukan semen dan
pasir di sekeliling pipa. Bila penguat bibir lubang sudah mengeras, cabut pipa
PVS dari tempatnya. Selanjutnya dorong kertas koran ke dalam lubang menggunakan
jari tangan. Setelah lubang LRB siap, masukkan sampah organik ke dalam lubang
sampai penuh.
Untuk memasukkan sampah
lebih dalam bisa menggunakan bambu untuk mendorong ke dalam lubang. Pengisian
sampah jangan terlalu padat agar tidak mengurangi jumlah oksigen di dalam
tanah. Agar tidak membahayakan, lubang ditutup dengan besi beton atau alat
penutup lain yang bisa dilalui air dan kuat menahan beban jika terinjak.
Dengan melihat uraian
teknologi biopori yang mudah dan tepat guna, maka selayaknya pemerintah memberi
apresiasi pada penemunya berupa penghargaan. Kendati demikian, penghargaan yang
tidak ternilai jika pemerintah lebih gencar menyosialisasikan ke masyarakat.
Alasan keterbatasan
anggaran kurang tepat, karena terbukti proyek triliunan untuk membangun
bendungan justru menuai banyak masalah, karena dugaan praktik-praktik kurang
terpuji dalam pembebasan lahan. Pemerintah seharusnya lebih arif dengan
mendorong hasil penemuan yang murah dan tepat guna, ketimbang mendorong
proyek-proyek mercusuar yang sarat dengan dugaan penyalahgunaan uang negara.
Teknologi biopori salah satu solusi alternatif terkesan masih diabaikan, karena
biayanya murah. [SP/Budi TP]
Sumber:
Suara Pembaruan – 17 September 2008
Untuk Jasa Pembuatan Siteplan Kavling atau Perumahan, Hubungi WA 0822 2700 4510