Dalam menapaki kesuksesannya,
Sanawi berpegang pada prinsip bahwa sukses dapat dicapai siapa saja yang mau
terus berusaha dan percaya diri.
Lelaki asal
Blora, Jawa Tengah, yang hanya mengenyam pendidikan kelas 1 sekolah dasar dan
lama jadi kuli bangunan itu, kini sukses menjadi juragan es krim dengan omzet
Rp1,5 miliar per bulan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Perjalanan
Sanawi menjadi seorang pengusaha sukses penuh liku. Lahir dari keluarga miskin,
Sanawi tidak bisa menamatkan sekolah dasar.
Lantaran
tidak fasih membaca dan menulis, Sanawi kecil sering diejek teman-temannya. Di
tengah segala keterbatasan itu, selama bertahun-tahun dia hanya bisa menjadi
penggembala sapi milik orang lain untuk membantu keuangan keluarga.
Tak ingin
terus berkubang dalam kemiskinan, Sanawi remaja yang ketika itu berusia 16
tahun bertekad mencoba peruntungannya di Jakarta. Bersama tetangganya, ia
berangkat dengan bermodalkan uang Rp7.500 hasil penjualan ketela. Sayang,
sesampai di Terminal Pulogadung, Sanawi malah ditinggal tetangganya.
Tarpaksalah dia kembali pulang ke kampung halaman.
Tapi itu
hanya sementara. Beberapa waktu kemudian, Sanawi kembali ke Jakarta. Di Ibu
Kota, ia menjadi kuli bangunan. “Kalau sedang tidak ada kerjaan, saya
menawarkan jasa pengecatan ke perumahan-perumahan, rongcet-rongcet, borong
cat,” katanya.
Pada 2006,
bersama teman proyeknya, Sanawi berangkat ke Samarinda, Kalimantan Timur. Di
kota ini pun, ia menjadi kuli bangunan. Setahun merantau, ia merasa tak ada
peningkatan pendapatan. “Saya berpikir untuk mencari penghasilan tambahan
dengan berjualan es krim,” ujarnya. Modalnya ia peroleh dari hasil pinjaman
temannya sebesar Rp60.000.
Setiap hari,
dengan menggunakan sepeda, Sanawi keliling menawarkan es krim buatan salah satu
produsen ternama seharga Rp1.000 setiap cone. Meskipun dia kerap diusir
orangtua yang tak mau anaknya membeli es krim, Sanawi terus giat menggenjot
gerobak es krimnya. Hasilnya, dia bisa mengantongi keuntungan sebesar Rp150.000
per hari.
Sedikit demi
sedikit, keuntungan hasil jualannya dikumpulkan untuk membeli motor. Sanawi
juga memberanikan diri mengajukan pinjaman ke bank untuk membeli mobil bak
terbuka sebagai penunjang usaha.
Melihat peluang besar di bisnis es krim, Sanawi mengajak teman-teman yang bekerja di proyek bangunan ikut berjualan es krim. Ia menjadi distributor yang memasok es krim bagi mereka.
“Usaha ini lebih menguntungkan dibandingkan menjadi kuli bangunan,” tuturnya.
Dari sini, bisnisnya berkembang pesat. Selama tiga tahun menjadi distributor es krim, pada 2010, Sanawi sudah memiliki 400 pengecer yang disebutnya mitra. Kini, ia sudah memiliki 700 mitra yang dilayani melalui 27 subdistributor es krim miliknya maupun hasil kongsian di beberapa kota di Kalimantan, Makassar, Manado, Batam, dan Jakarta.
“Targetnya seluruh Indonesia,” kata pria kelahiran 10 Oktober 1974 ini.
Sanawi selalu memberi pelatihan usaha es krim terlebih dahulu pada para calon mitranya. Ia membagi pengalaman bagaimana sukses berjualan. “Saya tak ingin orang yang menjadi mitra saya tak berkembang,” tuturnya. Karena itu, ia terus memantau penjualan.
Tak puas di bisnis es krim, Sanawi juga merambah ke bisnis minimarket. Ia memiliki dua minimarket di Samarinda dan Palangkaraya. Namun, karena keuntungannya tipis, ia berniat menutup salah satu minimarket itu. Ia juga mengembangkan sayap bisnisnya di jasa penyewaan kontainer dan pengolahan bebek serta ayam beku.
Semua bisnis itu dilabeli dengan merek Vanesa. Awalnya, Sanawi memakai merek Vania. Tapi, karena sudah ada yang mematenkan, ia ganti nama. “Vane” berasal dari nama anaknya dan “sa” singkatan Sanawi. Merek itu ia patenkan dua tahun lalu.
Selain sebagai distributor es krim merek terkenal, Sanawi juga memproduksi es krim sendiri. Dia sempat ditegur salah satu produsen es krim pemasok. Tapi ia tetap membuat es krim sendiri, meski kontribusinya masih kecil. “Saya bilang, kepengin kaya juga saya dari jualan es krim,” ujarnya tertawa.
Saat ini, Sanawi punya pabrik es krim di Kudus, Jawa Tengah. Ia juga memproduksi cone. Dalam sehari, pabriknya bisa memproduksi 40.000 cone. Dalam sebulan, ia dapat menjual hingga 9.000 ember es krim dengan omzet miliaran rupiah.
Keberhasilan mengembangkan aneka bisnis tak membuat Sanawi merasa sudah mencapai puncak kesuksesan. Ia menganggap keberhasilan ini tak lepas dari upaya mengatasi tantangan, termasuk keterbatasan yang dia miliki.
Salah satu tantangan pelik saat Sanawi mulai mengembangkan bisnis adalah masalah administrasi. Ia mengaku ketakutan jika dihadapkan dengan surat bermaterai. Maklum, di bisnis jasa penyewaan kontainer, ia mau tak mau harus berhadapan dengan surat perjanjian, entah penyewaan maupun pembelian.
Repotnya, dengan pendidikan yang cuma sampai kelas satu sekolah dasar, pengetahuannya juga terbatas. Asal tahu saja, ia buta huruf sampai usianya menginjak 35 tahun. Karena alasan itulah, ia kerap memanggil sahabatnya yang lebih paham soal perjanjian apabila ia dihadapkan pada surat bermaterai.
Baru pada 2010, Sanawi meminta anaknya untuk mengajari membaca dan menulis. “Teman-teman saya suka menakuti. Kata mereka, kalau ada materai harus waspada. Soalnya, takut ditipu terus bisa masuk penjara,” katanya tergelak.
Belajar dari pengalamannya, Sanawi memandang bahwa pendidikan itu sangat penting. Menurutnya, jika tidak lulus sekolah dasar saja bisa meraih kesuksesan, apalagi jika ia berhasil lulus sekolah. Pasti keberhasilannya jauh lebih besar.
Sanawi menunjukkan, selain kemauan, keberhasilan bisnis itu juga perlu modal dari keyakinan diri sendiri. Dari pengalamannya selama ini, ia yakin, usaha tak akan mengkhianati hasilnya.
“Orang mau sukses itu ada empat kuncinya: URIP, yakni Usaha, Rukun, Iman, dan Percaya diri. Tetapi, kita juga tetap harus menerima masukan dari orang lain,” tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar